RKA ILMAN MUNANDAR
3KB03
Kutipan yang terkenal dari Francis Bacon tersebut jelas mengungkapkan pentingnya pendidikan bagi manusia. Sumber pokok kekuatan manusia adalah pengetahuan. Mengapa? Karena manusia dengan pengetahuannya mampu melakukan olah-cipta sehingga ia mampu bertahan dalam masa yang terus maju dan berkembang.
3KB03
Sedikit Uraian Sejarah Pendidikan Indonesia
Kutipan yang terkenal dari Francis Bacon tersebut jelas mengungkapkan pentingnya pendidikan bagi manusia. Sumber pokok kekuatan manusia adalah pengetahuan. Mengapa? Karena manusia dengan pengetahuannya mampu melakukan olah-cipta sehingga ia mampu bertahan dalam masa yang terus maju dan berkembang.
Dan proses olah-cipta tersebut terlaksana berkat adanya sebuah aktivitas yang dinamakan PENDIDIKAN. Pendidikan
menurut KBBI berarti sebuah kegiatan perbaikan tata-laku dan
pendewasaan manusia melalui pengetahuan. Bila kita lihat jauh ke
belakang, pendidikan yang kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan
”adopsi” dari berbagai model pendidikan di masa lalu.
Informasi mengenai bagaimana model pendidikan di masa
prasejarah masih belum dapat terekonstruksi dengan sempurna. Namun bisa
diasumsikan ”media pembelajaran” yang ada pada masa itu berkaitan
dengan konteks sosial yang sederhana. Terutama berkaitan dengan adaptasi
terhadap lingkungan di kelompok sosialnya.
Pendidikan Masa Hindu-Buddha
Sistem pendidikan pada masa lalu baru dapat terekam
dengan baik pada masa Hindu-Buddha. Menurut Agus Aris Munandar dalam
tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990). Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan
adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang
mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri
dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.
Patapan memiliki arti
tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk
sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu
yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah
bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan dapat
sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada
bangunan yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah Resi/Rsi yang bertapa lebih sedikit atau terbatas. Tapa
berarti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa
biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan demikian
bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang saja.
Istilah kedua adalah mandala, atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala
merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan,
sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta,
murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan
membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewaguru.
Berdasarkan keterangan yang terdapat pada kropak 632
yang menyebutkan bahwa ” masih berharga nilai kulit musang di tempat
sampah daripada rajaputra (penguasa nagara) yang tidak mampu
mempertahankan kabuyutan atau mandala hingga jatuh ke tangan orang lain” (Atja & Saleh Danasasmita, 1981: 29, 39, Ekadjati, 1995: 67), dapat diketahui bahwa nagara atau ibu kota atau juga pusat pemerintahan, biasanya dikelilingi oleh mandala. Dalam hal ini, antara mandala dan nagara tentunya mempunyai sifat saling ketergantungan. Nagara memerlukan mandala untuk dukungan yang bersifat moral dan spiritual, mandala dianggap sebagai pusat kesaktian, dan pusat kekuatan gaib.
Dengan demikian masyarakat yang tinggal di mandala
mengemban tugas untuk melakukan tapa. Kemakmuran suatu negara, keamanan
masyarakat serta kejayaan raja sangat tergantung dengan sikap raja
terhadap kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, nagara perlu
memberi perlindungan dan keamanan, serta sebagai pemasok keperluan yang
bersifat materiil (fasilitas dan makanan), agar para pendeta/wiku dan murid dapat dengan tenang mendekatkan diri dengan dewata.
Pendidikan Masa Islam
Sistem pendidikan yang ada pada masa Hindu-Buddha
kemudian berlanjut pada masa Islam. Bisa dikatakan sistem pendidikan
pada masa Islam merupakan bentuk akulturasi antara sistem pendidikan patapan Hindu-Buddha dengan sistem pendidikan Islam yang telah mengenal istilah uzlah
(menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem pendidikan yang
mengikuti kaum agamawan Hindu-Buddha, saat guru dan murid berada dalam
satu lingkungan permukiman (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962, IV:
484—5; Munandar 1990: 310—311). Pada masa Islam sistem pendidikan itu
disebut dengan pesantren atau disebut juga pondok pesantren. Berasal
dari kata funduq (funduq=Arab atau pandokheyon=Yunani yang berarti tempat menginap).
Bentuk lainnya adalah, tentang pemilihan lokasi
pesantren yang jauh dari keramaian dunia, keberadaannya jauh dari
permukiman penduduk, jauh dari ibu kota kerajaan maupun kota-kota besar.
Beberapa pesantren dibangun di atas bukit atau lereng gunung Muria,
Jawa Tengah. Pesantern Giri yang terletak di atas sebuah bukit yang
bernama Giri, dekat Gersik Jawa Timur (Tjandrasasmita, 1984—187).
Pemilihan lokasi tersebut telah mencontoh ”gunung keramat” sebagai
tempat didirikannya karsyan dan mandala yang telah ada pada masa sebelumnya (De Graaf & Pigeaud, 1985: 187).
Seperti halnya mandala, pada masa Islam
istilah tersebut lebih dikenal dengan sebutan ”depok”, istilah tersebut
menjadi nama sebuah kawasan yang khas di kota-kota Islam, seperti
Yogyakarta, Cirebon dan Banten. Istilah depok itu sendiri berasal dari kata padepokan yang berasal dari kata patapan
yang merujuk pada arti yang sama, yaitu “tempat pendidikan. Dengan
demikian padepokan atau pesantren adalah sebuah sistem pendidikan yang
merupakan kelanjutan sistem pendidikan sebelumnya.
Pendidikan Masa Kolonial
Pada masa ini, wajah pendidikan Indonesia lebih
terlihat sebagai sosok yang memperjuangkan hak pendidikan. Hal ini
dikarenakan pada saat itu, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh
pemerintah kolonial adalah sistem pendidikan yang bersifat
diskriminatif. Artinya hanya orang Belanda dan keturunannya saja yang
boleh bersekolah, adapun pribumi yang dapat bersekolah merupakan pribumi
yang berasal dari golongan priyayi. Adapun prakteknya sistem pendidikan
pada masa kolonial lebih mengadopsi pendidikan ala Eropa.
Namun kemudian mulai timbul kesadaran dalam
perjuangan untuk menyediakan pendidikan untuk semua kalangan, termasuk
pribumi. Maka hadirlah berbagai institusi pendidikan yang lebih memihak
rakyat, seperti misalnya Taman Siswa dan Muhammadiyah.
Pada masa ini sistem Eropa dan tradisional
(pesantren) sama-sama berkembang. Bahkan bisa dikatakan, sistem ini
mengadopsi sistem pendidikan seperti yang kita kenal sekarang:
Mengandalkan sistem pendidikan pada institusi formal macam sekolah dan
pesantren.
Pendidikan: Berawal dari Keluarga
Pendidikan abad 21 diwarnai dengan pengaruh
globalisasi. Berbagai sistem pendidikan berlomba-lomba diadopsi,
dikembangkan dan disesuaikan. Institusi-institusi pendidikan mulai
menjamur. Namun muncul kritik dari beberapa orang seperti Ivan Illich,
yang menganggap sistem pendidikan hanya berorientasi untuk menghasilkan
tenaga kerja untuk kepentingan industri semata. Pendidikan kehilangan
maknanya sebagai sarana pembelajaran.
Kemudian muncul sebuah ide Home Schooling, yaitu
pendidikan yang tidak mengandalkan institusi formal, tapi tetap bisa
dilakukan di rumah sesuai kurikulum. Home Schooling adalah pola
pendidikan yang dilatarbelakangi adanya ketidakpercayaan terhadap
fenomena negatif yang umum terdapat pada institusi formal: adanya bullying, serta metode yang didaktis dan seragam.
Namun bukan berarti institusi pendidikan formal tidak
menyesuaikan diri. Kini, timbul kesadaran bahwa prestasi bukanlah
angka-angka yang didapat di ujian, atau merah-birunya rapor. Melainkan
adanya kesadaran akan pentingnya sebuah kurikulum berdasarkan
kompetensi.
Dari rangkaian sejarah pendidikan yang panjang ini
ada satu esensi yang bisa kita ambil yaitu seperti apapun bentuknya,
keberhasilan pendidikan pada dasarnya tidak hanya tanggung jawab dari
pengelola pendidikan saja tetapi juga menuntut peranan dari orangtua
yang tidak kalah pentingnya. Sejarah akan terus berulang: Pendidikan
berawal dari keluarga. (Bayu Galih/Rusyanti/Rian Timadar/Khairun Nisa,
Mei 2008)